Unknown Unknown Author
Title: Ikat Sunda, Identitas Diri dan Pelestarian Budaya Sunda
Author: Unknown
Rating 5 of 5 Des:
Iket atau “Totopong” atau “ Udeng” , merupakan jenis tutup kepala tradisional yang terbuat dari kain batik, salah satu kelengkapan busana ...
Iket atau “Totopong” atau “Udeng”, merupakan jenis tutup kepala tradisional yang terbuat dari kain batik, salah satu kelengkapan busana bangsa Sunda yang digunakan pria sebagai penutup kepala,  yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi model-model yang khas. Dipakai dengan teknik tertentu seperti dilipat, dilipit, dan disimpulkan sebagai pengikat akhir.

Iket dipakai oleh pria dari berbagai kalangan baik ulama, penghulu, pegawai pemerintahan, masyarakat golongan bawah, mulai dari anak usia sekolah sampai orang tua, dan juga bangsawan.

Model-model iket Sunda memiliki nama yang diasosiasikan dengan alam lingkungan masyarakat Sunda seperti Barangbang Semplak atau Mantokan, Parékos atau Paros yang terdiri dari Parékos Nangka atau Kebo Modol, Parékos Jéngkol, Lohen atau Paltén, Tutup Liwet atau Duk Liwet. Selain itu dikenal pula nama Porténg dan Kolé Nyangsang.

Kain iket yang wujudnya simple, hanya berbentuk segiempat dan berukuran kira-kira kurang 1 Meter dari bahan batik, pada zaman dulu kala ikat kepala ini sangat multifugsi. Kegunaannya sebagai penutup kepala, peranti pengusir roh jahat, pembawa barang, sampai dengan derajat sosial seseorang. Iket, dewasa ini, malah sudah beralih fungsi menjadi pernak-pernik/aksesoris yang sedang digandrungi oleh anak- anak muda di tatar sunda.

Iket disebut juga totopong yang terbuat dari kain atau boéh atau mori. Totopong merupakan bentuk iket yang lebih rapi. Dulu boéh diartikan kain. Ada yang disebut boéh alus (kain halus), boéh siang (kain merah) dan boéh larang atau kain yang mengandung kekuatan. Sekarang kata boéh berarti kain putih, yang menurut kamus Umum Basa Sunda [4] boéh nyaeta lawon bodas tina kapas (boéh adalah kain putih dari kapas). Kain yang lebih halus dari boéh disebut kaci. Kata boéh sekarang ini mengalami penyempitan makna menjadi kain putih yang dipakai untuk membungkus mayit atau mayat atau yang dikenal dengan kain kafan. Kain untuk iket Sunda selain menggunakan batik, pada jaman dahulu sebelum mengenal batik menggunakan kain polos yang disebut hideungan (kain berwarna hitam) yang dikenal dengan nama Sandelin. Kain ini dapat pula dipakai untuk celana panjang, kamprét, dan calana pangsi.

Mudah-mudahan dengan maraknya penggunaan iket sunda ini dapat menjadi pencapaian bahwa generasi muda khususnya nonoman sunda (remaja sunda) masih sangat peduli dengan adat budaya sunda dalam kehidupannya sehari-hari.
“Mengenakan ikat sunda ini berarti mencirikan bahwa kita sebagai orang yang peduli dalam melestarikan budaya sunda”
Iket Dalam Sejarah
“…saceundeung kaen” (Bujangga Manik, isi naskah baris 36)
Penggalan kalimat tertulis di atas terdapat dalam naskah kuno Bujangga Manik yang menceritakan perjalanan Prabu Jaya Pakuan, seorang Raja Pakuan Pajajaran yang memilih hidupnya sebagai resi. Naskah diperkirakan ditulis sekitar abad ke-14. Isi naskah terdiri atas 29 lembar daun nipah yang masing-masing berisi 56 baris kalimat, terdiri atas 8 suku kata.
Kalimat “…saceundeung kaen” mengandung arti selembar kain yang sering digunakan sebagai penutup kepala. Di tatar Sunda disebut totopong, iket, ataupun udeng. Pemakaian iket berkaitan dengan kegiatan sehari-hari ataupun ketika ada perhelaan resmi seperti upacara adat dan musyawarah adat. Untuk beberapa waktu, umumnya kain penutup kepala hanya disebut totopong, iket, atau udeng totopong, iket, atau udeng. Tidak ada bukti tertulis mengenai sumber sejarah tentang penamaan iket atau yang sekarang disebut rupa iket. Akan tetapi, dalam perkembangan zaman, penamaan untuk rupa iket menjadi bagian dari kebudayaan yang mengandung nilai dan makna tersendiri.

Sejarah Mencatat bahwa keberadaan iket menjadi warisan kebudayaan urang sunda. Iket atau totopong menjadi ke’arifan lokal kerajaan sunda wiwitan / sunda buhun. Meski di daerah (wewengkon) lain memang dikenal sejenis iket seperti Udeng yang ada di Bali, Kemudian di Padang dan masih banyak lagi sesuai dengan kebudayaan nya masing-masing.Pakar sejarah menyebutkan bahwa ternyata wilayah Sunda itu berada dari Dataran tinggi Gunung sunda yang berada di India sampai ke Australia sebelum akhirnya terpecah menjadi beberapa pulau kecil. Maka dari itu tidak heran jika disetiap wilayah memiliki iket dengan khasnya masing-masing namun ada pula kemripan-kemiripan nya khususnya di nusantara.

Perbedaan kata Iket dan Totopong mencakup dimana suatu daerah menyebutnya seperti di Cianjur menyebut Totopong kemudian Ciamis . namun secara umum urang sunda menyebut nya dengan Iket.

Iket sebenarnya umum digunakan sebagai pelngkap busana peria namun sekarang karena sudah mendapat suntikan kebudayaan luar dampak dari modernisasi sudah sering sekali elihat masyarakat umum mempergunakan iket. Sehingga iket lebih sering kita temui biasa dipakai Sesepuh – sesepuh adat sebuah wilayah dan Dalem di kraton yang sejak dahulu sudah menggunakannya. atau di wiayah kanekes (baduy dalam) yang masih menganut sunda wiwitan.

Waruga Iket (Bentuk/Organ)
Iket bukanlah hanya Saceundeum Kaen Sehelai kain, namun luas dari itu iket memiliki ciri dan khas tersendiri berbeda dengan Sal atau penutup kepala lain sejenisnya.

Iket yang Organ-organ dari iket itu sendiri memiliki corak atau Motif yang berbeda-beda. Iket terbentuk dari Kain Persegi empat berukuran dengan panjang dan lebar 120 cm atau 90 cm. Terdiri dari tiga bagian yaitu Pager/gugunungan, Waruga dan Modang. Pager atau Gugungan yaitu garis pinggir pembatas yang biasaya bermotif / gambar Gunung dan garis-garis menyerupai pager, sedangkan Waruga yaitu corak motif atau gambar yang biasanya disesuaikan dengan kebudayaannya seperti ada yang bermotif burung, bunga, atau bahkan khas dari suatu daerah seperti motif Maos,Mamaos,Maenpo yang menjadi khas iket dari kabupaten Cianjur. Kemudian yang disebut dengan Modang yaitu garis persegi empat yang ada ditengah iket, biasanya berwarna putih, merah dan kuning kecoklatan yang memiliki arti tersendiri.

Ada beberapa pendapat mengenai iket dengan bentuk persegi tiga yang sering kita temui dipasaran umumnya bahwa sebagian tokoh adat sunda tidak membolehkan iket persegi empat itu dipotong menjadi persegi empat karena memotong makna dari iket lebih jauh dari itu bahkan menghina iket. Namun sebagian lagi membolehkan dengan alasan tesendiri.

Makna dan Filosofi Iket
Berdasarkan Pendapat Ketua Mupusti Totopong Cianjur (Kang Gelar) dalam sebuah pertemuan Ngamumule Budaya sunda bahwa dahuu iket merupakan Warisan Orang tua kepada anaknya yang dibuat sendiri karena memiliki do’a dibalik motif dan corak pada iket itu sisi agama yang digambarkan dalam iket.
Iket dikenal dengan memiliki Opat Kalima Pancer karena Iket Memiliki empat sisi dan satu Persegi Empat di tengah Iket yang menggambarkan Acining (sumber) jati diri yang ada pada setiap diri kita yaitu Api, Air, Angin dan Udara serta Satu lagi yaitu Diri.

Disini lah kita dapat melihat bahwa Iket memiliki maksud dan nilai filosofi sendiri selain keindahan dan fungsi menjukan kedudukan sosial seseorang.

Iket bermaksud mengingatkan kita akan jati diri kita adanya Api, seumber amarah dan keganasan maka kita harus mampu membendamnya, Air Selalu Rendah Hati Melihat Setiap yang berada dibawah kita, Udara terasa meskipun tidak terlihat memberikan kesejukan kepada sesama, tanah Asal mula penciptaan kita dari Tanah serta Diri kita lebuh ke hhubungan kita dengan sang pencipta.

Dari sini dapat kita simpulkan bahawa iket mengandung maksud mengikat, mengingatkan akan kewajiban kepada sang pencipta atau dengan kata lain Hablum minallah (hubungan dengan Allah) , dan empat acining untuk kehidupan dengan sesama dikenal denga Hablum minannas (hubungan dengan manusia/makhluk).

Itulah kenapa sebabnya keberadaan iket sekarang ini sangat dibutuhkan kembali dengan sosilaisasi kepada seluruh masyarakat khususnya wilayah jawa barat karena disatu sisi dengan kembalinya berkembang Pelestarian Budaya sunda maka akan mengukuhkan kembali jati diri warisan karuhun urang.

Bentuk dan Cara Memakai Iket
Berdasarkan data yang ada kurang lebih tercatat sekitar 22 Jenis Iketan Buhun / dahulu dan 22 Jenis Iketan Kiwari/ sekarang dan ini masih terus berkembang dikarenakan kreatifitas dan kehendak para pelestari budaya sunda khususnya bidang iket (Totopong).

Dahulu Jenis Iket baik Motif maupun warna dibedakan berdasarkan status sosial seseorang. Begitu pula jenis iketan nya membedakan maksud, makna dan tujuan yang tersirat dar iketan itu sendiri . sebagai contoh :

Beberapa Nama Iket:
Fungsi iket/totopong sebagai simbol identitas diri dilihat dari pola mengikatnya. Bentuk ikatan totopong menunjukkan status sosial, cara mengikat totopong antara bangsawan dan rakyat berbeda. Setidaknya ada 22 atau lebih cara mengikat totopong di kepala. Beberapa model ikat misalnya yang paling sederhana, Perengkos Nangka. Biasanya dipakai oleh orang tua yang sedang tergesa-gesa, jadi cukup dibelitkan di kepala. Kalangan jawara atau jagoan, lain lagi ikat kepalanya, yaitu mereka menggunakan model Barangbang Semplak atau Kuda Ngencar.
  1. Barangbang Semplak, Iket ini seperti barangbang (dahan kering) yang patah tapi masih nempel dipohon. Culannya hampir menutupimata. Bagian atasnya terbuka (terlihat rambut).Bisanyaiket model ini duludipakai oleh para jawara, namun untuk sekarang luas dipergunakan oleh masyarakat biasa dipergunakan dalam pementasan seni pencak silat. Dll
  2. Parengkos Jengkol, parengkos tertutup, terbungkus sedangkan jengkol adalah buah jengkol bau namun tetap sering digemari. Iket jenis ini biasa dipergunakan oleh para nigrat dengan ciri lain terdapat cula / patuk wali pada bagian kening seperti segita terbalik.
  3. Julang Ngapak, Julang berasal dari nama se-ekor burung, ngapak yaitu sayapnya yang mengepakan sayap karena bentuk dari iket ini menyerupai burung julang yang sedang terbang mengepakan sayapnya. Ike jenis ini umum dipergunakan pada tokoh lengser (penyambut tamu) dalam acara-acara adat seperti upacara adat perkawinan khas sunda.
  4. Julang ngapak, bentuk iket ini seperti sayap burung terbang. Dipakai oleh para orang tua.
  5. Kekeongan (di Banten disebut borongsong keong), bentuknya mirip seperti keong.
  6. Kuda ngencar, iket yang culanya dibelakang, ngampleh (tergerai) ke bawah. begitu mau ke bagian ujung (melengkung) naik lagi ke atas.
  7. Maung heuay, bentuk iket ini seperti mulut harimau yang sedang nganga (terbuka).
  8. Parekos nangka, bentuk iket ini sangat sederhana (basajan). Biasanya dipakai oleh orang yang sedang tergesa-gesa.
  9. Porteng, iket yang culanya berdiri di depan, dan ujung-ujung kainnya digulung ke belakang.
  10. Talingkup, iket yang culanya didahi sampai menutupi mata. Talingkup artinya bisa menutupi.
  11. Selain jenis yang digunakan diatas masihbanyak lagi jenis iket sunda lainnya seperti buaya ngangsar, koncer, porteng, kole nyangsang, Tug liwet/Tutup Liwetoncer. Kebo Ngencar, Lohe’n, Kebo Modol, Kole Nyangsang, Porteng, Rupa Iket Adat Kampung Naga, Udeng Ciptagelar dan masih banyak lagi yang semuanya diambil dari simbol-simbol alam.



Iket Buhun (Dahulu)
Generasi muda saat ini banyak yang gandrung dengan pemakaian “iket“. Mereka memiliki cara pandang yang berbeda dalam membentuk “iket”, tetapi tetap memiliki acuan terhadap satu garis penciptaan karya “buhun” (kuno). Di luar rupa atau penamaannya, iket Sunda sendiri mengandung nilai makna filosofi yang dikenal dengan sebutan Dulur Opat Kalima Pancer. Dulur Opat merupakan empat inti kehidupan yaitu api, air, tanah, dan angin. Dan Kalima Pancer mengandung makna yaitu berpusat pada diri kita sendiri. Secara garis besar, Dulur Opat Kalima Pancer memiliki arti bahwa empat elemen inti tersebut terdapat pada diri kita dan berpusat menyatu sebagai perwujudan diri.

Iket Kiwari (Sekarang)
Iket kiwari yaitu jenis iketan yang ada pada zaman sekarang sebagai betuk apresiasi para budayawan sunda mengembangkan penemuan nya dalam bidang iket seperti jenis iket Mahkuta Wangsa yang sering kita temui yaitu melambangkan Tri Tangtu yaitu Bumi, Negeri dan Diri

Ketika Iket yang berbentuk Persegi Empat dilipat menjadi dua sehingga membentuk Persegi tiga maka akan berbentuk seperti gambar diatas, makna yang tersira pada iket ini mengingatkan kita akan tiga hal penting yaitu keselarasan mengendalikan Diri, Bumi dan Negeri.

Iket Bukan Sekadar Gaya
Iket merupakan warisan budaya yang luhur nilainya, harus kukuh dipegang sebagai wujud simbolis keutuhan hidup. Begitu juga bagi urang Sunda sendiri, apakah hanya membanggakan luarnya saja sebagai bentuk indentitas, atau lebih mementingkan isinya. Menurut Dr. Ir. Thomas NIX, peneliti dari Belanda (Stedebouwin Indonesia Rotterdam, 1949), leluhur masyarakat Indonesia, hususnya Pulau Jawa, sudah mewariskan kearifan lokal dalam segala unsur kehidupan.

Nu lima diopat keun, nu opat ditilu keun, nu tilu didua keun, nu dua dihiji keun, nu hiji jadi kasép “ (yang lima dijadikan empat, yangempat dijadikan tiga, yang tiga dijadikan dua, yang dua dijadikansatu, yang satu jadi tampan), kalimat yang diucapkan budayawan Jakob Sumarjo ini, tentunya harus direnungi bagi setiap pemakainya. Bukan sekedar gaya, tapi harus dipahami makna dibalik lipatannya. Ketika dari lima menjadi satu, maka individu berusaha mendekatkan diri dengan Tuhan yang satu.

Melihat fenomena yang muncul kini, iket semakin tren di kalangan anak muda. Dengan berbagai motif dan gaya pemakaian. Bisa jadi dilator belakangi oleh kerinduan terhadap nilai tradisional yang semakin tergerus oleh modernisasi. Atau hanya sekedar pencitraan identitas tanpa pemaknaan.

Meskipun demikian, harus jadi kebanggaan bersama dengan diarahkan pertanggung-jawabannya, bahwa mengenal dan memaknai kembali kebudayaan Sunda tidak harus secara paksa. Tapi, diawali dengan kesadaran kecintaan melalui iket. Dengan cara itu, iket tidak akan kalah dengan ikat kepala/syal bergambar grup musik barat.

Iket Dalam Pandangan Islam
Didalam konteks keberagaman, sesungguhnya ada keterkaitan erat antara nilai-nilai filosofi iket dengan fungsi penutup kepala dalam kaitan nilai Islam. Fungsi dari iket menurut Islam umumnya adalah bisa digunakan sebagai sajadah, pengganti tutup kepala. Hal itulah yang membentuk hubungan antara manusia dan Allah Sang Pencipta yang disebut Hablumminallah. Fungsi sebagai Hablumminanas adalah iket sebagai penyambung silaturahmi berdasarkan warisan budaya dan iket sebagai bagian dari cara saling memberi ilmu pengetahuan.
Dalam dunia Islam, dikenal serban atau sorban sebagai penutup kepala, sebagai bagian dari kelengkapan dalam salat atau beribadah. Memakai serban bagi umat Muslim adalah sunnah Nabi. Dalam beberapa hadis riwayat para sahabat Nabi Muhammad SAW, mereka menceritakaan bahwa Nabi selalu menganjurkan agar memakai penutup kepala sebagai bagian dari kelengkapan pakaian salat dan bahkan di luar salat.

Mari Hapus Penomena Tak Beretika !!!
Pergeseran nilai budaya bangsa ini mengalami kemunduran yang notabene masuknya budaya-budaya asing yang lebih cenderung meng-invasi nilai estetika dan norma adab bangsa ketimuran khususnya Indonesia, ditandai dengan bangganya sebuah generasi muda dalam explorasi nilai budaya asing tanpa membanggakan budaya bangsanya sendiri. Tentunya sangatlah tidak mudah dalam mengembalikan kejayaan budaya tanah leluhur ini bila saja generasi muda tidak lagi peduli terhadap kekayaan budaya serta kearifan lokal yang terkandung disetiap wilayah-wilayah itu sendiri.

Masyarakat pada umumnya saat ini telah memiliki paradigma atau sudut pandang yang seolah “Mengkerdilkan” suatu budaya yang bernilai luhur dengan beranggapan apabila melihat seseorang dengan berpenampilan memakai baju adat (Pangsi) atau Ikat Kepala (iket) mereka akan beranggapan orang tersebut seolah “Dukun” ..(sungguh penomena yang tak beretika). Bisa ditarik kesimpulan bahwa anggapan mereka berdasarkan apa yang dilihat mungkin saja dari sebuah cerita piksi film, televisi, cerita majalah dll.

Disinilah peranan penting para sesepuh dan budayawan suatu wilayah yang sejatinya selalu memberikan makna sejarah adat budaya leluhur yang agung kepada generasi muda berikutnya agar terus mencintai budaya-budaya bangsanya sendiri, mari sedikit demi sedikit kita hapus paradigma atau sudut pandang tersebut dengan tetap berpegang teguh kepada jati diri budaya itu sendiri.

sumber referensi :
beritakarawang.com,  ukmpurba.wordpress.com, 
isuk.tk, archive69blog.blogspot.com,
kabarkampus.com dan sumber lainnya

Advertisement

 
Top